Selasa, 27 Maret 2012

tanaman kentang

TUGAS ,TBT TANAMAN HIAS
PRODUKSI KENTANG & TOMAT DI BERBAGAI KABUPATEN


OLEH
                          NAMA                             : SURIA PERKASA
                          NIM                                  : 1009000206
                          P. STUDY                        : AGROEKOTEKNOLOGI 
                         
UISU PERTANIAN












FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2012








PASURUAN - Peningkatan produktifitas pembenihan kentang berkualitas didaerah Pasuruan terus dikembangkan secara intensif oleh pemerintah daerah setempat melalui Dinas Pertanian kabupaten Pasuruan.
Karena, dari sektor pertanian kentang ini, dapat menyumbang sekira Rp280juta per tahun untuk pendapatan asli daerah (PAD).

Manager Pusat Pengembangan Pembenihan Kentang (P3K) dari Dinas Pertanian kabupaten Pasuruan Yuli Sungkowo menjelaskan, 50 persen hasil produksi kentang Jawa Timur dihasilkan oleh kabupaten Pasuruan.
Dari sekira tujuh ribu hektare lahan pertanian kentang di Jawa Timur yang menghasilkan 10.500 ton kentang pertahunnya, sekira 4.500 ton berasal dari Pasuruan yang dihasilkan dari tiga ribu hektar lahan pertanian kentang di wilayah dataran tinggi kecamatan Tosari, Pasuruan.

Lebih lanjut Yuli mengatakan bahwa Pasuruan dijadikan sebagai sumber atau sentra pembenihan kentang untuk memenuhi kebutuhan produksi kentang lokal agar permintaan pasar dapat terpenuhi.
Sehingga, secara otomatis dapat membendung masuknya kentang impor dari luar negeri, di mana secara tidak langsung juga meningkatkan perekonomian para petani kentang karena harga jual kentang yang stabil.

Dengan terjaganya stock bibit/benih kentang berkualitas, diharapkan peningkatan kapasitas produksi dan mutu hasil pertanian kentang dapat bersaing dengan kentang impor sehingga kedepannya kita dapat mengekspor kentang keluar negeri.

Sementara itu kepala dinas pertanian kabupaten Pasuruan HM Ichwan, Senin (5/3/2012) mengatakan bahwa dengan perbaikan sistem budidaya dari benih kentang lokal ke benih kentang yang berkualitas memang sedikit mengalami kendala dari cara pandang para petani yang masih mengandalkan cara konvensional dimana para petani tetap menggunakan benih/bibit kentang lokal secara terus menerus. padahal idealnya setelah 3-4 kali masa panen bibit kentang harus diperbaharui agar kapasitas dan mutu produksi dapat terjaga.

Di samping itu dengan penggunaan benih kentang berkualitas,peningkatan kapasitas produksi lebih tinggi. Sebagai perbandingan, dengan benih lokal dapat menghasilkan 10-15 ton kentang per hektarnya, sedangkan apabila menggunakan benih kentang berkualitas dapat menghasilkan 18-25 ton kentang per hektar.

Selain itu pengurangan biaya perawatan yang tinggi akibat penggunaan pestisida dapat ditekan karena benih kentang berkualitas lebih tahan penyakit.

"Untuk sementara ini pengembangan pembenihan kentang berkualitas, difokuskan pada varietas granola di mana jenis kentang granola yang merupakan kentang untuk sayur dan bukan jenis kentang untuk olahan masih mendominasi permintaan pasar," pungkas Ichwan.

Karanganyar (Espos)–Produksi kentang di Kabupaten Karanganyar, terutama di Kecamatan Jenawi, menurun hingga kisaran 50%.
Penurunan tersebut dipengaruhi oleh cuaca ekstrem yang tidak bisa ditebak, belakangan ini.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bumi Aji, Sumadi, mengatakan, kondisi cuaca yang tak menentu, menjadikan produksi kentang tidak maksimal.
“Iklim itu kan tidak bisa ditebak, sebentar-sebentar hujan. Kami biasanya memanen kentang pada musim kemarau, sebab kentang tidak bagus kalau dipanen pada musim hujan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, kami juga tidak bisa mengendalikan iklim,” ujar Sumadi saat ditemui wartawan di sela-sela kegiatan panen kentang di Desa Anggrasmanis, Jenawi, Kamis (23/9) pagi.
Kentang yang bisa diproduksi satu hektare lahan yakni 20 ton, per tahun. Pendapatan per hektare yakni Rp 30 juta, dengan asumsi Rp 4.000 per kilogram kentang.
“Tapi dengan kondisi cuaca ekstrem seperti sekarang ini, mustahil untuk bisa meraih pendapatan yang banyak. Tidak seperti bawang atau kubis yang bisa cukup bertahan di cuaca yang berubah-ubah,” ujar Sumadi.
Bupati Karanganyar, Rina Iriani SR, yang turut serta dalam panen kentang di Anggrasmanis, memaklumi jika dalam
kondisi cuaca yang tak menentu, produksi kentang menurun.
“Masih syukur bisa panen dan memberikan penghasilan,” ujarnya.
kata kunci: kentang
Info Paskomnas.
Semua menjadi terkejut setelah sekitar 300 petani kentang dai kawasan pegunungan Dieng berdemo ke Jakarta Oktober lalu. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan import kentang dari India, Bangladesh, China atau Korea yang lalu menyebabkan harga kentang di Pasar Induk turun drastic alias “jatuh”. Bagi konsumen, turunnya harga kentang dari sekitar Rp9.000,-/kg menjadi Rp6.000,-/kg dipasar eceran itu menjadi hal yang baik karena tidak memberatkan belanjanya. Namun bagi petani kentang di Dieng yang sudah lama “nyaman” dengan harga jual “tinggi” menjadi kaget. Kaget karena harga jual kentangnya ditingkat petani saat harga jatuh itu hanya sekitar Rp3.500,-/kg untuk mutu AB. Padahal para petani, yang rata-rata rumahnya bagus itu, sebelumnya biasa menjual kentang di desanya sekitar Rp5.500,-/kg. Kalau yang mutu AB saja Rp3.500,-/kg, itu berarti untuk harga rata-ratanya hanya sekitar Rp2.500,-/kg.
Soal turunnya harga kentang ditingkat petani, lalu petani menjadi kaget, sebenarnya bukan karena biasa dengan harga tinggi. Tetapi dengan harga kentang sekitar Rp3.500,-/kg untuk mutu AB itu, petani memang merasa rugi secara financial. Para petani bercerita, untuk budidaya tanaman kentang selama 4 bulanan itu, tiap hektar dibutuhkan biaya antara Rp 45.000.000,- hingga Rp54.000.000,-. Dengan hasil panen sekitar 18 ton mutu kentang campuran, berarti harga pokoknya (break event point/BEP) rata-ratanya sudah mencapai sekitar Rp 2.500 - 3.000,-/kg. Kalau harus ditambah bunga pinjaman + biaya pengelolaan oleh petani sekitar 50% dari BEP, petani harus menjual dengan harga rata-rata antara Rp 3.750 – 4.500,-/kg. Padahal dipasar induk, harga kentang import hanya dijual dengan harga borongan sekitar Rp 3.500,-/kg. Itu artinya kentang Dieng yang sebenarnya bermutu lebih bagus menjadi “kalah bersaing” dengan kentang import. Para konsumen agaknya belum begitu mempertimbangkan soal mutu, tetapi lebih pada soal harga, yang lebih murah yang diambil.

Kita harus “memang”
Itulah yang mesti menjadi semangat bersaing dari setiap pelaku bisnis. Termasuk bagi petani kentang yang harus terlibat dalam “agribisnis”. Untuk menang bersaing dalam menjual kentang, tetapi tetap masih untung, para petani harus meneliti penyebab kekalahannya dengan kentang import. Mari ditelusuri. Kentang import yang tempatnya jauh saja, kok dapat menjual murah (sekitar Rp3.000,-/kg) dipasar induk Indonesia, dan mereka pasti sudah untung. Kalau petani mau menang berarti harus mampu menjual sama atau sedikit dibawah harga kentang import. Kalau harga sama saja kentang Dieng tentu menang karena mutunya lebih baik. Dengan begitu berarti para petani Dieng harus mampu menurunkan biaya produksi, sehingga harga pokok/BEP-nya menjadi rendah. Selama ini petani Dieng memang ”mengeluh”, kalau biaya produksi semakin mahal.

Komponen biaya produksi kentang.
Secara analisa, biaya kentang terdiri dari 1). Biaya tetap (fixed cost), yang terdiri dari biaya tanah (nilai sewa, pajak, irigasi); dan biaya tenaga kerja tetap. Biaya tetap ini harus ada dan tidak dapat dihemat. 2). Biaya tidak tetap (variabel cost), yang terdiri dari : biaya sarana produksi habis pakai (bibit, pupuk, obat-obatan); biaya tenaga kerja lepas (untuk mengolah tanah, menanam, merawat, memanen); dan 3). biaya lain-lain (biaya bunga pinjaman, jasa orang ketiga dsb).
Untuk biaya tidak tetap dan biaya lain-lain inilah yang dapat diatur dan dihemat.
Dari banyak komponen biaya sarana produksi, yang mungkin dapat dihemat adalah biaya bibit. Setiap hektar, dibutuhkan bibit kentang 1.500 kg. Selama ini petani kebanyakan membeli dengan harga sekitar Rp12.000,-/kg. Harga ini cukup tinggi dan menempati sekitar 40% dari seluruh biaya yang diperlukan petani. Berdasarkan kajian dan pengalaman diberbagai sentra kentang (Modoending – Sulawesi Utara, Magelang - Jateng, Malang – Jatim), sebenarnya biaya bibit kentang itu dapat diturunkan menjadi hanya seharga sekitar Rp6.000 – 8.000,-, kalau petani mampu membuat bibit sendiri. Dengan begitu sebenarnya dapat dihemat sekitar Rp 5.000,-/kg atau sebesar Rp 7,5 juta/ha. Dengan penghematan ini berarti biaya produksi dapat turun menjadi hanya Rp37.500.000,-/ha sampai Rp 46.500.000,-/ha. Dengan produksi tetap 18 ton/ha berarti harga pokok telah turun menjadi Rp 2.083,50 s.d. Rp 2.583,50. Kalau ditambah 50% laba & bunga pinjaman, harga jual petani dapat menjadi Rp 3.125,- sampai Rp 3.875,-/kg. Dengan begitu, dengan efisiensi bibit saja, kentang Dieng sudah mulai dapat bersaing dengan kentang import.
Padahal masih ada ”pemborosan” lain selain bibit. Misalnya biaya pupuk organik yang ”mahal” karena harus membeli dari Jawa Timur. Biaya obat-obatan yang mahal karena cara penyemprotan yang salah (mestinya berbentuk kabut yang hemat, tetapi kebanyakan berbentuk butiran air menyembur yang boros). Biaya angkutan lokal dari tepi jalan kelahan produksi yang masih menggunakan tenaga manusia (disunggi atau dipikul, sehingga ongkos mahal). Hal ini karena tidak ada jalan usahatani yang dapat dilalui kendaraan angkut. Kalau masing-masing petani mau membuat jalan usahatani bersamaan, yang digunakan bersama, tentu akan ada penghematan biaya angkutan lokal.
Wah, kalau biaya pupuk organik, biaya obat-obatan & biaya angkutan itu dapat dihemat, maka harga pokok kentang Dieng sebenarnya dapat berada dibawah angka Rp2.000,-/kg. Itu tentu akan sangat ”kompetitif” menghadapi kentang import. Gampangnya, tanpa larangan import kentang-pun, kentang Dieng akan tetap laku dan menguntungkan
Lubukbasung, (ANTARA) - Dua produk asli dari Kecamatan Baso Kabupaten Agam, di antaranya tomat rasa korma dan dendeng daun singkong rasa paru, siap untuk bersaing di pasar Indonesia.
Dua produk yang dikembangkan oleh Kelompok Koastra di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso ini, sudah berkembang semenjak tahun 2007.
Sedangkan pemasaranya sudah mencapi luar provinsi Sumbar dan luar negeri.
"Saat ini, pemasaran produk yang terbuat dari hasil pertanian di Kabupaten Agam ini sudah mencapai luar provinsi, seperti Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulawan Riau, Riau Daratan dan sampai ke Malaysia," kata Ketua Kelompok Koastra, Emmy (56), kepada antara-sumbar.com, Selasa (19/4).
Kata dia, dengan produk lokal yang masih dibilang baru ini, pihaknya optimis produk ini berkembang dengan baik.
Ia menambahkan, hasil produksi setiap harinya mencapai 20 Kg dengan jumlah pekerja sebanyak 20 orang.
Kata dia, dendeng daun singkong rasa paru ini dijual Rp200 ribu per kg. Sedangkan untuk tomat rasa korma dijual dengan harga Rp150 ribu per Kg.
Lebih lanjut dia mengatakan, proses pembuatan tomat rasa korma dan dendeng daun singkong rasa paru ini, diperoleh di Provinsi Jawa Barat. Namun produk ini bisa dikembangkan di Kabupaten Agam dengan alasan bahan baku untuk pembuatan produk ini banyak di Kabupaten Agam.
"Semenjak produk ini dikembangkan, banyak kabupaten dan kota di Sumbar mengunjungi lokasi pembuatan tomat rasa korma dan dendeng daun singkong rasa paru," ujarnya mengakhiri.
Malang(beritajatim.com) - Musim hujan membawa berkah bagi petani tomat sayur di Kabupaten Malang. Hingga pekan kedua Desember 2011 ini, Harga tomat sayur naik tajam lebih dari 7 kali lipat. Jika harga tomat sebelumnya hanya berkisar Rp 200 sampai Rp.2000 per kilogramnya, harga tomat saat ini sudah tembus Rp.7000 per kilogramnya.

Naiknya harga jual tomat dibenarkan Toha Maksum (42). Petani tomat di Dusun Patuk, Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, merasakan untung ditengah musim hujan akhir-akhir ini.

Kata dia, meski hasil produksi tidak sebagus saat musim tanam, harga jual tomat saat ini cenderung mahal. "Ada kenaikan sampai 7 kali lipat. Saat ini, harga jual tomat perkilogramnya mencapai Rp.7000,' ungkap Toha, Jumat (16/12/2011) kala ditemui di ladang tomat miliknya.

Menurut Toha, pada akhir musim kemarau lalu, harga tomat jatuh. Perkilogramnya, hanya laku dua ratu rupiah saja. Dengan perbandingan itu, menjadikan petani tomat ketiban rejeki. Hanya saja, untung yang didapat petani, juga berdampak pada biaya produksi tanam.

setengah hektar ladang tomat, membutuhkan biaya produki berkisar Rp.10 juta. Ongkos itu lebih tinggi dikarenakan musim hujan seperti ini, buah tomat cepat membusuk. Pupuk yang digunakan juga cenderung mahal. Mengingat, tanaman tomat sangat rentan terserang penyakit jika ditanam pada musim hujan. "Kita gunakan pupuk yang mahal. Pasalnya, kandungan penyakit pada air hujan sangat tinggi. Belum lagi, tanaman tomat yang baru semai harus kita lindungi dari hujan," paparnya.

Toha menambahkan, jika dibanding musim kemarau, setengah hektar ladang tomat bisa menghasilkan 15-18 ton buah tomat. Hal itu berbeda dengan musim hujan ini yang hanya 5-10 ton saja. Namun begitu, harga jual jutru lebih mahal saat musim hujan. "Musim hujan cenderung mahal. Produki tanaman tomat dan resiko gagal panen juga tinggi. Tapi, tidak berpengaruh pada produksi kami karena biaya produksi besar, hasilnya juga lumayan karena keuntungan besar," pungkasnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar